Sabtu, 05 November 2011

3600 Detik


Gerimis mengguyur senja ini. Aku masih tetap memandangi sebuah batu nisan dari orang yang memberi aku sebuah makna kehidupan. Dia yang telah memberikan semangat kehidupan yang baru untukku. Dika, itulah namanya. Semuanya berawal di tempat yang paling menyeramkan “rumah sakit”.
                Aku divonis oleh dokter bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Tak ada cara lain untuk aku bertahan hidup kecuali cangkok jantung. Aku yakin tidak ada orang yang rela jantungnya diberikan kepadaku. Mereka tidak bodoh. Aku sudah pasrah. Hidupku tinggal menghitung jari lagi. Aku merasa kasihan kepada dua malaikatku. Mereka yang selama ini bersusah payah mencari biaya untuk berobat. Ayah, ibu maafkan aku yang selama ini selalu saja menyusahkan kalian. Aku sudah capek dengan hidup ini. Segala macam obat telah masuk ke dalam saluran pencernaanku.
                Aku berjalan menulusuri waktu. Meratapi cobaan yang menimpaku. Tanpa ku sadari aku menendang sebuah kerikil, tepat mengenai sasaran kepala seseorang. Ku dengar rintihan kecil. Aku tak menghiraukan itu. Lamunanku terhenti, ketika di depanku terbentang sebuah lapangan yang sangat luas. Aku menjerit sejadi- jadinya.
                “ Tuhan, mengapa engkau berikan cobaan ini padaku. Aku tak kuat lagi menanggung semua beban ini. Tuhan aku mohon hentikanlah semua ini. Kalau Kau menginginkan nyawaku, ambil saja Tuhan. Jangan seperti ini, ini hanya membuat susah ke dua malaikatku. Aku mohon Tuhan.”
                PLETUK,,,,sebuah suara yang tak asing lagi di dengar. Sebuah kerikil tepat mengenai kepala bagian belakangku. Aku menggerutu kesal dan merintih kesakitan.
                “ Siapa sih yang melempar kerikil ini. Rese banget.” Gerutuku.
                “ Aku, emangnya kenapa?? Siapa yang duluan melempar itu kerikil?? Dengar yah,,,kalau berdo’a itu harus yang baik. Jangan kaya tadi.”
                “ Upss,,,sorry nggak sengaja. Terserah aku dong. Lagipula, tuhan tidak mendengar do’aku.”
                “ Kamu tuh seharusnya bersyukur karna masih diberikan kesempatan sampai detik ini, menit ini, dan pada jam ini. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Disana kamu akan merasa bahwa kamu ingin hidup lebih lama lagi. Yuk..ikut aku.”
                “ Kemana?? Aku nggak kenal kamu.”
                “ Udah jangan banyak omong. Aku orang baik-baik kok.”
                Dia menarik tanganku seenaknya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Bagaikan seekor kerbau yang ditarik oleh seorang petani. Setelah berjalan beberapa langkah dari tempat sebelumnya. Dia menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon yang begiitu rindang. Langkah kami terhenti. Dia mengambil posisi berbaring dan memejamkan mata. Apa yang dilakukannya??. Aku terheran sejenak. Dia menyadari keganjalan yang terjadi.
                “ Kamu kenapa diam?? Ikuti apa yang aku lakukan.” Jelasnya.
                Aku menuruti perintahnya. Mengambil posisi berbaring disebelahnya dan mulai memejamkan mata.
                “ Sekarang kamu bayangkan apapun yang kamu inginkan terkabul. Ini adalah tempat yang membuat aku lebih menghargai sebuah kehidupan. Aku menamakan tempat ini adalah kolong langit.”
                “ Kolong langit,,, aku baru mendengarnya. Nama yang unik. Kalau tidak salah kita belum kenalan. Aku Shila. Kamu?”
                “ Betul kita belum kenalan. Aku Andhika. Panggil aja Dhika.”
                Perkenalan yang sangat singkat. Tapi tak disangka bisa menumbuhkan kesedihan yang luar biasa.
                Setelah menikmati kolong langit hidupku lebih berarti. Dan semenjak ada dika pula, hidupku lebih berwarna. Kami mengarungi  canda dan tawa bersama. Tapi sampai saat ini aku belum mengetahui penyakit yang dia derita. Suatu waktu aku menanyakan hal itu. Dia hanya menjawab “ sakitku tak ada apa apanya dibandingkan sakitmu”. Itulah kata kata yang selalu keluar dari mulutnya setiap kali aku menanyakan perihal tersebut.
                Aku mendapatkan sebuah surat merah jambu tepat di depan pintu ruang rawatku. Sejenak aku terheran. Tapi keherananku sirna ketika membaca nama pengirim. Ternyata itu surat dari Dhika. Dengan semangat ’45 aku membuka surat tersebut. Surat itu berisi bahwa Dhika ingin bertemu denganku di bawah pohon yang rindang tepatnya terletak di kolong langit. Tanpa ba bi bu lagi aku meluncur ke tempat tujuan. Aku tak melihat seorang pun disana. Mungkin aku terlalu terburu buru. Lebih baik aku menunggu Dhika. Dua jam berlalu. Mataku berkunang-kunang. Kurasakan kantuk yang begitu hebat. Aku mulai terlelap sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Entah mimpi atau nyata. Aku melihat dhika datang dan mendekatiku. Lalu dia mengecup keningku dan menghilang di kejauhan. Aku terbangun dan tertawa. Hanya mimpi. Tapi anehnya dia belum datang juga. Apa mungkin ini hanya ide jahilnya saja. Ini membuat aku kesal. Aku berjanji apabila bertemu denganya aku akan membalas perbuatannya.
                Akhir akhir ini aku tidak pernah lagi melihat Dhika. Tepatnya setelah kejadian di kolong langit. Aku merasa khawatir sekali. Apa mungkin dia takut bertemu denganku. Baiklah aku akan mencabut perkataanku. Aku sudah mencarinya ke segala penjuru di rumah sakit ini. Kamarnya terlihat kosong. Aku tak melihat ada tanda tanda kehidupan disana. Suster mengatakan padaku bahwa Dhika sudah chek up. Dhika itu maunya apa sih. Kemarin dia menjahiliku. Dan sekarang dia pergi tanpa pamit. Aku benci Dhika.
                Setelah aku berkata seperti itu. Tiba-tiba ada sepasang telapak tangan yang menutupi mataku.
                “ Siapa nih? Lepasin nggak,,,,” aku memohon.
                Dia melepaskan tangannya. Aku menoleh ke belakang. Ternyata dia adalah Dhika. Kekesalanku semakin memuncak. Aku memukul Dhika sekuat tenagaku. Dhika merintih kesakitan.
                “ Oke,, aku tahu kamu pasti marah besar. Aku minta maaf. Oke,,,” Dhika membujuku.
                Pukulanku semakin melemah. Dan Dhika mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya. Itu adalah kue tart. Dia menyanyikan sebuah lagu ulang tahun untuku. Aku baru menyadari bahwa hari ini aku berulang tahun. Aku meniup lilin dan make a wish. Aku berharap “ aku bisa hidup lebih lama dari ini “. Kami merayakan ulang tahunku hanya berdua saja.
                “ Kau memohon apa?” tanya Dhika padaku.
                “ Aku memohon agar aku diberi kehidupan yang lebih lama lagi”
                “ Aku yakin do’amu pasti terkabul”
                “ Amin,,,”
                Tiba-tiba cairan merah kental keluar dari hidung Dhika. Aku sangat panik. Aku berniat memanggil dokter, namun Dhika melarangku. Dia menarik tanganku. Dia meminta aku untuk bersiap  karna dia akan mengajak aku ke suatu tempat dalam waktu 3.600 detik.
                “ Benar,,,kamu tak apa apa? Hidungmu berdarah dan wajahmu pun terlihat sangat pucat.”tanyaku
                “ Sungguh aku tak apa apa. Ini sudah biasa. Kamu sudah siap?”
                Aku hanya menganggukan kepala tanda bahwa aku sudah siap. Dhika membawaku menggunakan taksi. Entahlah dia akan membawaku kemana. Tapi dia hanya mengatakan “ aku akan membawamu dalam waktu 3.600 detik”. Kami sudah sampai ditempat tujuan. Sebuah alun alun kota. Dia membawaku kesana. Kami menikmati waktu 3600 detik tersebut. Namun aku tak tahu apa maksud dari waktu 3600 detik. Hari ini sungguh berkesan bagiku. Inilah hari terindah yang pernah aku alami. Terima kasih Tuhan Engkau telah memberi anugrah terbesar untuku. Kami beranjak pulang. Namun, ketika didalam taksi. Sesuatu hal terjadi pada Dhika. Dia mengeluarkan banyak cairan merah dan mukanya terlihat pucat pasi. Dia membisikan kata kata padaku. “ Jangan panik, kau tahu aku sangat menyayangimu”. Itulah kata kata yang dibisikan Dhika padaku. Aku menangis ketika melihat Dhika terkulai lemas. Aku memarahi supir taksi karna berjalan seperti keong.
Para dokter sudah menunggu Dhika dari tadi. Mereka sudah menyangka hal ini akan terjadi.  Dhika dilarikan ke UGD. Aku menunggu dengan sangat panik. Waktu berjalan begitu lambat. Seorang dokter berjalan ke luar. Aku menanyakan keadaan Dhika. Aku terjatuh lemas. Aku tak bisa membayangkan hal apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dhika telah tiada. Apakah ini semua maksud dari 3600 detik. Mengapa dia tidak menceritakan tentang penyakitnya. Mengapa aku harus mendengar semua itu dari orang lain. Awalnya aku tidak percaya yang dikatakan dokter bahwa dhika mengidap penyakit kanker darah tapi setelah kenyataan ini menimpaku, aku tak bisa mengelak kenyataan yang ada. “Tuhan mengapa Engkau mengambil orang yang aku sayangi, Cobaan apa lagi yang Engkau berikan padaku”. Sebuah tangan mengulurkan surat padaku.
“ Kau yang bernama Shila. Ini surat dari Dhika untukmu. Kenalkan aku adalah dokter pribadinya Dhika. Aku akan memberikan waktu untukmu.”
Aku meraih surat tersebut dan membacanya. Air mataku tak bisa ku bendung lagi.
“ Kau sudah selesai, mari kita lakukan pencangkokan jantung untukmu.”
Aku hanya bisa mengangguk. Dhika menitipkan jantungnya padaku. Aku akan selalu menjaga jantungnya seperti miliku sendiri. Selamat jalan Dhika. Aku akan selalu mengingat kata terakhirmu. “Jangan pernah sesali hidup ini. Jangan pernah menyalahkan Tuhan karna ini semua sudah ditentukan dalam sebuah garis takdir. Semangat, aku akan selalu berada dalam hatimu. Inilah do’a yang Tuhan kabulkan untukmu.”
Tak terasa hari semakin sore. Air mataku begitu deras. Sudah setahun Dhika meninggalkanku rasanya baru kemarin. Tepat dimana hari ulang tahunku dia meninggalkanku. Terima kasih atas kado terindah yang kau berikan. 3600 detik. Semoga kau tenang di alam sana.
Aku beranjak untuk pergi dan mengarungi kehidupan baruku. Sementara diatas sana Dhika tersenyum bahagia.